SAAT SEORANG SARJANA MENJADI PENYINYIR

August 02, 2018



Belakangan ini cukup banyak mendapat keluh kesah dan curhatan baik dari istri ataupun dari lingkungan sekitar, keluh kesah terhadap orang yang senang menyinyir orang lain dalam hal apapun.


Saya juga heran kenapa masyarakat Indonesia sangat senang nyinyir kepada orang lain. Hal itu bisa dilihat bagaimana reaksi netizen Indonesia terhadap suatu hal yang muncul di media sosial. Entah itu hal yang benar terlebih lagi hal yang salah, komentar yang diberikan netizen lebih banyak menunjukan respon negatif. Terhadap hal yang benar, yang positif sekalipun, kalimat bully dan nyinyir juga terlontar.

Itulah mungkin muncul istilah “netizen maha benar”, yang mungkin juga bisa dikorelasikan bahwa masyarakat Indonesia banyak yang merasa paling benar sendiri dan orang lain selalu salah.

Menurut Bambang Satrio Lelono dari Dirjen Pembinaan Pelatihan dan Produktivitas Kerja, Kemanker RI, bahwa dalam satu tahun lulusan sarja secara nasional mencapai 750 ribu – 800 ribu orang. Sumber: http://www.tribunnews.com/nasional/2017/11/08/pengangguran-di-indonesia-tinggi-karena-lulusan-perguruan-tinggi-terlalu-milih-pekerjaan

Dilihat dari data di atas, ada kemungkinan sebagian besar netizen Indonesia yang berseliweran di media sosial sekarang adalah seorang sarjana.

Kenapa saya membahas soal kebiasaan orang Indonesia suka menyinyir? Dan apa hubungannya dengan sarjanya seseorang?

Awalnya karena resah akan akun Instagram gosip yang sangat terkenal sekarang, followers-nya mencapai 5 juta lebih. Woooowww!!

Apa faedah dari akun gosip itu? Yang ada hanya menciptakan perilaku suka bergosip, nyinyir, dan bully di diri masyarakat Indonesia.

Jadi untuk apa kita semua ini menjadi sarjana tapi hanya bisa menyinyir orang lain, sibuk mengurusi urusan pribadi orang lain?

Mengenai sarjana, saya jadi teringat akan sebuah kalimat dari film Gie (2005) yang menunjukan apa esensi sebenarnya menjadi seorang sarjana, “..bidang seorang sarjana adalah berpikir dan mencipta yang baru…”

Baca Juga: Sarjana Roti

Oke, jika kita melihat dan merenungi kalimat di atas itu, artinya seorang sarjana seharusnya memikirkan hal yang penting, melahirkan inovasi, memberikan pemikiran mengenai persoalan yang sedang dihadapi bangsa ini. Dan juga tentunya seorang sarjana harusnya bisa menjadi inspirator kepada anak-anak dan kalangan remaja. Tapi yang terjadi malah sebaliknya, bukan?

Sindiran dan kritik akan kebiasaan seorang sarjana yang lebih suka menyinyir juga disampaikan dalam film berjudul Cin(T)a (2009), “..republik ini sudah kebanyakan sarjana nyinyir…”

Memang tidak semua orang Indonesia, juga tidak semua sarjana Indonesia yang gemar menyinyir seperti itu. Tapi hanya sebagian besar saja.

Maksud saya, untuk apa sering nyinyirin orang lain, karena belum tentu orang yang dinyinyirin lebih jelek atau lebih salah dari diri kita.
Sederhananya, jangan mencela orang lain karena bisa jadi orang yang mencela lebih hina dari orang yang dicela.

Picture by pixabay.com

Sifat suka nyinyir akhirnya memunculkan sifat tidak suka terhadap sesama dalam kehidupan berbangsa. Mungkin ini juga yang menyebabkan negara ini sangat lambat kemajuannya. Semua bentuk inovasi, semua bentuk pemikiran, dan semua bentuk opini langsung dimentahkan dan langsung dinyinyir tanpa mau mempelajarinya terlebih dahulu.

Selain itu, karena suka menyinyir berdampak semakin tingginya kebiasaan bergosip di kalangan masyarakat. Yang biasanya bergosip melibatkan mulut pertama dan mulut-mulut selanjutnya, dan ending-nya informasi yang disampaikan tidak sesuai dari faktanya.
Parahnya lagi, kebiasaan nyinyir ini bisa memunculkan sikap adu domba dan sangat mudah di adu domba.

Ada banyak orang yang bilang, “orang-orang barat sana, orang-orang bule itu kok pinter, ya? Kok cerdas, ya? Mereka ‘kan padahal cuma makan roti.”

Guys, bukan permasalahan makan apa tapi kebiasaan apa yang membuat mereka bisa pintar seperti itu.



Picture by pixabay.com

Tidak perlu jauh-jauh ke belahan Eropa atau Amerika sana, coba lihat Jepang. Negara yang lebih kecil dari kita tapi penduduknya bisa pintar dan kemajuannya sangat pesat. Kenapa bisa? Bukankah mereka juga makan nasi?

Sekali lagi, karena kebiasaan mereka dalam keseharian.

Masyarakat Jepang, dimanapun mereka, bekerja di bidang apapun, mereka memiliki kebiasaan membaca jika sedang menunggu. Mungkin kita saat menonton film Jepang atau Anime Jepang, familiar melihat orang Jepang saat di kereta atau di bus mereka sangat asyik membaca buku.
Begitu juga orang-orang Barat, mereka memiliki kebiasaan membaca.

Lalu bagaimana dengan kebiasaan kita sekarang? Lebih banyak membaca ataukah menyinyir orang?

Bukan menyinyir tapi beropini. Bukan menyalahkan tapi menasehati.

Tapi anehnya kita, orang Indonesia yang katanya berbudaya Timur yang sangat sopan, santun, halus dan berbudi pekerti, yang katanya memiliki banyak sarjana, tapi saat ada orang yang salah menurut kita bukannya dinasehati atau diberitahu yang benar seperti apa malah dinyinyir, digosipkan, di-bully, bahkan dipermalukan di depan umum dan media sosial.

Apakah itu sikap seorang yang terdidik? Apakah itu sikap seorang yang berbudaya Timur? Apakah itu sikap seorang sarjana?

Alangkah baiknya jika orang lain salah menurut pandangan kita diajak untuk dialog dengan cara yang sopan, dan menyampaikan opini dari sudut pandang kita. Saya rasa itu cara yang bijak, dan tentunya seperti itulah seharusnya para sarjana bersikap. Karena juga akan berefek pada generasi muda Indonesia.

Tulisan ini bukan untuk menyalahkan dan menyudutkan pihak manapun, melainkan sebagai renungan dan kritik terhadap diri kita sendiri.
Menyinyir, bully, bukan sikap seorang sarjana melainkan bertindak cerdas, memberikan pemikiran, dan beropini.







-H2O-

You Might Also Like

0 komentar