TARITIP DI TAKISUNG

September 07, 2012

Kamis, 30 Agustus 2012 karyawan bagian operasional (sebut saja namanya R) PT Pertani tempat aku magang mengajak ke Pelaihari sekitar 2 jam dari Banjarmasin untuk mengantarkan pestisida ke kios tani dan menyerahkan surat ke Dinas Pertanian.

Selesai dengan urusan di Pelaihari kami melanjutkan perjalan menuju kota Takisung, sekitar 45 menit dari kota Pelaihari. Di Takisung kami mendatangi 2 kios tani yang letaknya saling berdekatan sekitar 200 meter. Saat ngobrol-ngobrol di kios, aku baru tau kalau di Takisung itu banyak banget orang Jawa.

Jam 1 siang kami selesai di kedua kios, lalu R bertanya “kamu kapan terakhir ke pantai ?” aku mikir sebentar mengingat-ingat, “sekitar 1 tahun yang lalu. Kenapa ?” sambil masuk mobil dia menjawab, “karena tugas kantor udah selesai dan selagi dekat kita ke pantai aja sambil refreshing.”

Diajak ke pantai di tengah kesibukan siapa yang enggak mau, dengan excited-nya aku jawab “boleh-boleh,” senyum lebar terpampang di wajahku setelah mendapat respon positif dari R tanda dia menyetujui. Dan mobil pun dijalankan menuju Pantai Takisung.

Sampai di pantai ku lihat pengunjung sedikit banget, saking sedikitnya bisa dihitung dengan jari. Begitu juga dengan halnya para pedagang yang banyak tutup hanya segelintir yang berjualan dikarenakan bukan masa libur.

Meskipun matahari tidak tertutup apa-apa dan memantulkan panasnya di hamparan pasir, aku memilih untuk berjalan-jalan melihat keadaan pantai.

Sekarang di bibir pantai diletakan jajaran kubus-kubus batu yang besar, kira-kira gunanya sih supaya kotoran dari laut tidak sampai ke tengah pantai, terus juga mengurangi orang-orang yang terbawa arus.

Itulah batu yang ada di bibir pantai dan yang duduk di atasnya bukanlah penjaga pantai

Memang di bagian tengah pantai cukup bersih dari sampah, namun saat aku berjalan agak ke ujung bagian pantai ku temui sampah yang berserakan.

Sangat disayangkan kurangnya kebersihan di Pantai Takisung menjadikan nilai minus yang harus diperhatikan oleh semua pihak.

Saat berjalan-jalan, aku melihat dari kejauhan ada beberapa ibu-ibu berjongkok di atas karang yang tidak cukup luas. Karena penasaran dengan apa yang mereka kerjakan aku pun memutuskan untuk mendatanginya.

Ibu-ibu di atas karang

Saat aku lihat dari jauh karangnya itu enggak terlalu jauh sih, tapi pas aku jalan kesana ternyata karangnya itu jauh banget, ternyata di pantai pun ada fatamorgana juga.

Karena posisi karangnya agak ke tengah laut jadi aku jalan memutar supaya enggak basah, kan enggak lucu kalau pulang ke kantor dengan celana dan sepatu yang basah.
Sampai di atas karang aku melihat-lihat sebentar aktivitas yang dilakukan oleh ibu-ibu itu, ku lihat mereka memukul-mukul karang sampai pecah lalu mengambil seperti daging dan dimasukan ke dalam gelas plastik air minum mineral.

Karena penasaran aku pun bertanya kepada ibu yang ada di dekat ku, “lagi nyari apa bu ?” aku ikut berjongkok di samping ibu itu, “nyari taritip,” karena saat itu angin cukup deras sehingga suara ibu itu tertelan oleh angin, “nyari apa bu ?” ku ulangi pertanyaan ku, ibu itu menjawab dengan sedikit keras, “nyari taritip nak.”

Aku yang pertama kali mendengar nama itu bingung, apa itu taritip, sejenis batu kah, atau apa.

Daripada tambah bingung aku pun bertanya lagi, “taritip itu apa bu ?” ibu itu menjawab sambil terus memukul-mukul karang mencari taritip, “sejenis kijing.”
Kijing ? Apa lagi kijing itu ? Semakin bingung dengan nama yang baru kali itu aku mendengarnya, meskipun nama-nama itu bahasa banjar tapi aku enggak pernah dengar sebelumnya.

“Ini loh yang namanya taritip,” ibu itu menunjukkan, “ohh, kerang,” akhirnya aku tau juga nama-nama yang disebutkan tadi.

Jadi, Taritip itu adalah kerang yang menempal di karang-karang, ibu-ibu itu mengambil dagingnya dengan cara memukul kulit kerang sampai pecah lalu di ambil dagingnya, tapi tidak sedikit juga kerang yang isinya kosong.

“Dagingnya itu dijual atau dimakan sendiri aja bu ?” tanya ku sambil memperhatikan ibu itu, “kalau dapatnya banyak dijual, tapi kalau sedikit aja dapatnya buat makan di rumah.”

“Kalau dijual harganya berapa bu ?”

“Harganya Rp 5000 per gelas minum kecil, tapi enggak bisa tiap hari juga nyarinya, kalau sedang surut kayak gini baru bisa nyari,” jelas ibu itu.

Ternyata mencari Taritip atau Kijing atau lebih dikenal dengan Kerang itu menjadi kerja sampingan penduduk setempat. Air surut yang menyulitkan para nelayan untuk melaut, maka Taritip pun menjadi alternatif disaat surutnya air.

Proses pencarian Taritip

Datang ke pantai tahun ini meskipun sebentar tidak hanya sekedar datang lalu pulang tapi mendapat pengetahuan yang belum pernah ku dapat sebelumnya.

H2O

You Might Also Like

1 komentar

  1. waaahh,,,kayanya asik tuh gan,,hehe keren2 tulisannya,,,makasih banyak yaa gan ,,sukses buat kita semua...:)

    ReplyDelete