TRILOGI : MENGHARGAI HIDUP

February 17, 2010

Selesai final test di kampus anak-anak Trilogi yang terdiri dari Henry, Yeda dan Andri pergi berlibur ke pantai. Mereka bertiga naik bus dari kampusnya.
Sesampai di pantai mereka pun langsung menuju bibir pantai dimana terhampar pasir putihdan laut yang sangat indahnya.
Rambut panjang Yeda yang semula tersusun rapi di dalam kerudung kini sedikit terurai diterpa angin. “Wow, pantai yang indah banget.” katanya.
“Gak sia-sia kita jauh-jauh ke sini.” sahut Andri yang berada di sebelah kanan Yeda.
Karena kelelahan mereka bertiga berbaring di tepi pantai dan secara tidak sadar mereka pun tertidur di bawah naungan pohon pinus.
2 jam kemudian Henry terbangun setelah mendengar HP-nya yang memberitahukan bahwa ada sms masuk. Setelah membalas sms, Henry kemudian membangunkan kedua temannya.
“Hey guys, bangun-bangun !” perintah Henry
“Ada apa sih Hen ? Gangguin orang tidur aja.” sahut Andri dengan nada yang masih berat.
Yeda yang berada diantara mereka berdua juga ikut terbangun.
“Kalian gak nyadar kalo air lautnya udah mulai pasang.” Jawab Henry. “Jadi sekarang kita nginap atau pulang ?” sambungnya.
“ Kita nginap aja dulu, kalo kita pulang hari ini kita bias kemalaman di jalan.” Jawab Yeda.
“Eh liat, di sana ada desa tuch. Mungkin di sana kita bisa nginap buat hari ini.” usul Andri.
“Boleh juga, sekalian kita liat-liat gimana kehidupan mereka di sana.” kata Henry sambil berdiri dan mengambil tasnya.
Kemudian Henry berjalan menuju desa itu diikuti oleh kedua temannya.
Sesampai di desa itu, mereka terlihat seperti makhluk asing bagi penduduk desa itu.
Mereka bertiga menghampiri seorang ibu yang sedang menjemur pakaian.
“Permisi bu, rumah kepala desa di sini di mana ya ?” tanya Henry pada ibu itu.
“ Di situ, rumah yang ada pagar kayu itu.” jawab ibu itu sambil menunjukkan tangannya.
“Makasih ya bu.” ucap Yeda. Ibu itu hanya tersenyum.
Mereka bertiga pun menuju rumah Pak Kades.
Setelah bertemu dengan Pak Kades, mereka meminta ijin untuk menginap sehari di desa tersebut. Pak Kades pun memperbolehkan mereka untuk menginap di rumahnya.
“Ini kamar untuk kalian berdua.” Pak Kades menunjukkan kamar untuk Henry dan Andri.
“Di sebelahnya adalah kamar untuk kamu.” lanjutnya kapada Yeda.
“Terima kasih banyak pak karena udah memperbolehkan kami nginap di sini untuk sementara.” ucap Andri. “Sama-sama.” jawab Pak Kades.
Setelah menaruh tas dalam kamar, mereka berjalan-jalan keliling di desa itu.
Mereka berhenti di sebuah sekolah yang dibandingkan dengan di kota jauh dari standar.
Mereka pun masuk ke dalam sekolah itu dan ternyata hanya memiliki 3 kelas. Pada saat itu sekolah masih melakukan kegiatan belajar mengajar, yang mana siswa berusia sekitar 11-12 tahun.
Dari 3 kelas yang dimiliki sekolah itu hanya 1 kelas yang dapat digunakan untuk belajar, karena dua kelas lagi kondisinya sudah tidak memungkinkan untuk digunkan.
Saat melewati salah satu kelas, secara tidak sengaja Yeda melihat para siswa yang dibilang fisiknya tidak sempurna, tidak seperti anak-anak pada umumnya.
Mata Yeda pun berkaca-kaca melihat hal itu.
Tiba-tiba dari belakang mereka datang seorang perempuan cantik yang berumut sekitar 20 tahun.
“Ada yang bisa saya bantu ?” Tanya perempuan itu yang mengejutkan mereka bertiga.
“ Eh, perkenalkan nama saya Henry, ini teman-teman saya Yeda dan Andri. Kami wisatawan yang sedang menginap di sini.” jelas Henry.
“Nama saya Rahmah, anak-anak biasa manggilnya Bu Rahmah.” sahut ibu itu dengan ramahnya.
Kemudian Bu Rahma menjelaskan tentang sekolah itu.
“Kalian bingung ya dengan sekolah ini yang memiliki 3 kelas saja. Sekolah ini adalah sekolah peninggalan orangtua saya yang didirikan agar anak-anak di desa ini dan yang kurang mampu dapat bersekolah. Jadi mereka tidak perlu sekolah di tempat yang jauh dan mahal.”
“Namun sekarang sekolah ini hanya dianggap sekolah bagi anak-anak cacat fisik dan keterbelakangan mental, sehingga banyak orang yang tidak mau lagi bersekolah di sini dan kelas yang bisa digunakan pun hanya satu saja, para guru pun hanya digaji semampunya saja.” lanjutnya.
Mendengar hal itu mereka bertiga merasa sedih, karena orang hanya melihat dari bentuk fisik luar dari sekolah tersebut.
“Apakah sekarang sudah waktu istirahat bu ?” tanya Andri yang melihat jam tangannya.
“Iya, sekarang waktu istirahat.” sahut Bu Rahma. Yang pada saat bersamaan guru yang mengajar di dalam kelas keluar menuju ruang kantor.
“Apa boleh kami masuk ke dalam kelas dan berkenalan dengan anak-anak bu ?” tanya Andri lagi.
Yeda dan Henry yang berada di sampingnya hanya tersenyum pertanda mereka mengetahui apa yang dimaksudkan Andri.
“Tentu saja boleh. Mungkin mereka akan senang bertemu dengan kalian.” jawab Bu Rahma.
Tidak menunggu lama, Bu Rahma langsung mengajak mereka masuk yang diikuti oleh Henry, Yeda, dan Andri.
“Anak-anak, kita kedatangan tamu dari kota. Di sebelah kanan ibu namanya Kak Henry, di tengah ada Kak Yeda, dan yang paling ujung namanya Kak Andri.” Bu Rahma memperkenalkan kelompok Trilogi ini.
“Selamat siang kak.” sapa anak-anak itu dengan ramah.
“Siang semuanya.” jawab mereka bertiga.
Yeda kemudian bertanya pada anak-anak itu, “Kalian senang gak sekolah di sini ?”
“Senang kak.” jawab anak-anak itu dengan polosnya.
“Kakak mau bilang, kalian adalah penerus bangsa ini dimasa depan. Mungkin kalian merasa iri dengan anak-anak yang lebih mampu dari kalian dan memiliki fisik yang lebih baik, tetapi mereka belum tentu dapat lebih baik dari kalian. Kita semua pasti memiliki kekurangan dalam hidup kita, dengan adanya kekurangan itu kita belajar untuk dapat mensyukuri dan menghargai hidup ini, jadi kalian jangan pernah merasa iri dengan mereka yang lebih baik karena tidak ada manusia yang sempurna.” kata Henry yang membangkitkan jiwa anak-anak itu.
Kemudian Yeda menyambungnya, “Kalian jangan pernah berhenti untuk belajar, jangan pernah berhenti untuk mencari ilmu dan pengetahuan. Belajar tidak harus di sekolah yang mahal, belajar tidak harus di sekolah yang mahal, di mana pun kita bisa belajar. Walaupun kalian memiliki banya kekurangan jangan pernah berhenti untuk menggapai cita-cita kalian, karena di luar sana masih banyak anak-anak yang tidak dapat sekolah. Semangat terus ya, gapailah mimpi kalian dan jangan pernah menyerah dalam hidup ini.”
Anak-anak itu pun tersenyum, tapi ada juga yang menangis mendengar kata-kata dari mereka, Bu Rahma pun menghampiri anak muridnya yang sedang sedih.
Yeda pun tersenyum sambil meneteskan air mata.
Berbeda dengan kedua temannya, Indra hanya memfoto anak-anak tersebut. Dari fotonya terlihat semangat, keceriaan dan kesedihan di wajah mereka.
“Padahal kakak masih ingin bermain dengan kalian tapi kami gak bisa lama-lama di sini.” kata Henry.
“Terima kasih ya semuanya.” kata mereka bertiga. “Sama-sama kak.” sahut semua anak-anak.
“Terima kasih bu sudah memperbolehkan kami bertemu dengan anak-anak yang hebat ini.” kata Yeda.
“Iya, sama-sama. Ibu juga berterima kasih pada kalian bertiga sudah mau mampir ke sini.” jawab Bu Rahma.
“Ini bu ada sedikit bantuan dari kami bertiga. Semoga dengan uang ini dapat memperbaiki sekolah ini dan membantu mereka.” Andri memberikan uang kepada bu Rahma.
“Terima kasih banyak atas bantuannya.” kata Bu Rahma.
Saat Trilogi ingin meniggalkan ruang kelas itu, seorang murid anak perempuan bernama Putri menghampiri Yeda.
“Kak Yeda, ini buat kakak. Gelang ini Putri sendiri yang buatnya.” kata Putri sambil memberikan gelang yang terbuat dari rangkaian kerang-kerang yang dia dapat dari pantai dekat desanya.
“Makasih ya Putri. Bagus banget gelanagnya.” sahut Yeda.
“Kami semua berjanji kak, kami akan selalu belajar dan meraih cita-cita kami.” kata Putri.
“Berjanjilah pada diri kalian.” jawab Andri seraya tersenyum.
Mereka bertiga pun berpamitan pada Bu Rahma dan anak-anak, meninggalkan sekolah itu menuju rumah Pak Kades.
Besoknya mereka bertiga berpamitan pada semua warga desa itu. Mereka pulang naik bus yang telah mereka pesan kemarin.
Bus pun berjalan meninggalkan desa itu, Yeda yang duduk dekat jendela menatap desa itu dengan senyuman dan di tangannya telah terpasang gelang pemberian Putri dengan indahnya.
Dia pun berkata dalam hati, “Ternyata masih banyak anak yang tidak seberuntung aku. Mulai sekarang aku harus menghargai hidup dan selalu bersyukur.”
Bus pun melaju menuju tempat mereka tinggal.










SELESAI

You Might Also Like

3 komentar

  1. menarik,, inspiratif dan penuh edukasi,,
    lanjutkan.....

    ReplyDelete
  2. kalo dari segi cerpen nya gmna..???

    ReplyDelete
  3. bagus,, menarik tema nya,,, pny bakat nih kayaknya. diasah aja lg aja hen...someday,, kalo henry rajin latihan,, bs jd penulis dan pesulap,, amien....

    ReplyDelete