Ada banyak intrik dalam hidup ini, dari intrik untuk mencari keuntungan sampai intrik agar selamat. Dan sekarang manusia-manusia Indonesia kebanyakan terjebak dalam kebiasaan membuat intrik untuk mencari keuntungan bagi diri sendiri yang dikemas untuk kepentingan orang banyak. Mirisnya lagi, hal itu menjadi lumrah dan suatu hal yang “diharuskan” bagi setiap manusia Indonesia di semua lini kehidupan. Bahkan tidak jarang, mengesampingkan sifat kemanusiaan dan menggantinya menjadi kemunafikan demi kepentingan pribadi bahkan golongan.
Dalam buku Manusia Indonesia, seorang Mochtar Lubis menulis bagaimana sudah menjadi kebiasaan masyarakat Indonesia dari kalangan bawah sampai kalangan elit, untuk bersikap “Asal Bapak Senang” atau ABS. Memperlakukan seseorang yang dianggap penting atau lebih tepatnya seseorang yang menguntungkan seperti Sang Maha Raja yang harus dipenuhi semua kemauannya seraya Sang Pelayan menundukan badan dihadapannya. Yang padahal, Sang Pelayan tidak menyukai Sang Raja.
Sikap ABS tersebut bentuk nyata dari kemunafikan masyarakat Indonesia, dan menurut saya telah membunuh sifat-sifat kemanusiaan dan kebenaran yang selama ini dijunjung dalam Pancasila. Padahal negeri ini sedang berkoar-koarnya untuk menerapkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan. Tapi nyatanya, sampai sekarang nilai-nilai Pancasila itu tercor
BACA JUGA: CIRI ORANG INDONESIA DARI DULU HINGGA SEKARANG
Meskipun Sang Raja itu melakukan kesalahan, tapi Sang Pelayan tidak diperbolehkan sekalipun untuk menyalahkan Sang Raja. Mau bagaimanapun tetap saja Sang Pelayan yang salah. Ketika Sang Raja membuat kebijakan yang menurut Sang Pelayan tidak masuk akal, tapi tetap saja Sang Pelayan harus menjalankannya dan tidak bisa sekalipun membantahnya.
Entah kenapa, kok mirip dengan Fir’aun ya.
Kita sebagai negara yang merdeka bahkan sebagai manusia yang merdeka, tentu seharusnya merdeka juga dalam mengambil sikap. Seharusnya menyatakan benar kepada kebenaran dan menyatakan salah kepada kesalahan. Bukan sebaliknya.
Tapi hinanya kita, tidak pernah mulut kita berkata demikian. Karena kebiasaan masyarakat Indonesia sejak jaman kolonial dulu, selalu punya pemikiran bahwa atasan tidak pernah salah dan tidak boleh dipersalahkan.
Entah kata apa yang tepat untuk menggambarkan hal tersebut selain kemunafikan. Semua segala bentuk kebenaran disingkirkan, dan segala bentuk penghambaan diperlihatkan sejelas-jelasnya hingga kesalahan tidak pernah tampak setitikpun.
Saya tidak habis pikir melihat kebiasaan kita sebagai manusia merdeka. Entah mau sampai kapan sikap kemunafikan itu dipertontokan. Maka tidak heran jika generasi muda bangsa ini pun mewarisi hal tersebut, dan lagi-lagi generasi muda yang disalahkan karena tidak menanamkan jiwa Pancasila, padahal generasi tua lah yang “mengajari” sikap yang jauh dari Pancasila bahkan sikap seorang manusia yang merdeka dan berpikiran visioner.
Segala sesuatu yang diperlukan sekarang tidak jauh dari sikap “ABS” tersebut. Baik berupa uang, prioritas, bahkan pelayanan. Tidak ada keadilan yang diperlihatkan, itulah mengapa hingga sekarang keadilan sulit untuk benar-benar diterapkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, karena sudah mengakar dan mendarah daging di semua lini sikap “ABS” sebagai bentuk dari kemunafikan hati manusia Indonesia.
BACA JUGA: DIMANA KEADILAN ITU?
Suatu ketika saya pernah mendapati saat Sang Raja memberikan perintah kepada Sang Pelayan, yang mana Sang Pelayan itu tahu bahwa perintah itu salah dan dipertanyakan oleh Sang Pelayan. Tapi Sang Raja tidak mau tahu, mau salah atau tidak yang penting perintah itu harus dijalankan. Sesuai perintah, Sang Pelayan pun menjalankan perintah tersebut dan ternyata benar dugaan Sang Pelayan, perintah tersebut berdampak pada kesengsaraan dan ketidakbenaran.
Hal tersebut pun diketahui oleh Sang Menteri dan meminta penjelasan kepada Sang Pelayan. Diceritakanlah oleh Sang Pelayan bahwa semua itu disebabkan oleh perintah yang tidak benar dari Sang Raja. Tapi Sang Menteri dengan gagahnya menjawab bahwa itu bukan salah Sang Raja tapi salah dari Sang Pelayan. Sang Menteri pun memberi pesan kepada Sang Pelayan jangan pernah mempersalahkan Sang Raja, bahkan seharusnya dilayani dengan istimewa, meskipun perintahnya salah.
Sang Pelayan hanya bisa menggelengkan kepala melihat kemunafikan yang terus-terusan terjadi. Tidak mempunyai pedang untuk melawan balik, tidak mempunyai tombak untuk menusuk kemunafikan itu, hanya sebuah tameng yang dimiliki Sang Pelayan untuk menahan gempuran dari kemunafikan Sang Menteri dan bawahannya.
Pada akhirnya kita semua tahu bahwa negeri ini kebanyakan orang-orang munafik di dalamnya. Kita tidak bisa berbuat apa-apa selama akar belum tercabut dari tanah. Ada banyak orang yang berusaha mencabut akarnya tapi selalu ditusuk oleh jarum-jarum kekuasaan yang beracun. Entah sampai kapan kita menonton pertunjukan yang membosankan ini. Tapi yang pasti negeri ini tidak akan diberkahi jika sikap manusianya apalagi petingginya yang tidak berpihak pada kebenaran.
Sedihnya lagi, kebenaran dan kejujuran terus disingkarkan hingga ke tepi-tepi jurang kematian.
-H2O-